Monday, February 14, 2011
Kejang Neonatal
Dr. Budi Riyanto W.
UPF Mental Organik Rumah Sakit Jiwa Bogor, Bogor
Di antara risiko perinatal, kejang -- di samping perdarahan intra kranial merupakan faktor yang utama dalam meramalkan kelainan neurologik di kemudian hari. Angka kejadiannya antara 11/2 -- 14 per 1000 kelahiran hidup; dan dalam ruang perawatan
intensif, sekitar 25% bayi yang dirawat di situ menderita kejang 1.Di RS Cipto Mangunkusumo, angka kejadiannya 0,70 2.50% kejang neonatal terjadi pada hari pertama, dan 75% sampai hari ke tiga
PATOFISIOLOGI
Berlainan dari kejang pada anak yang lebih tua, kejang neonatal sering tidak nyata (covert) dan fokal sehingga sering luput dari perhatian, karena organisasi dan struktur otaknya yang belum sempurna; proliferasi glia, migrasi neuron, hubungan
antar axon-dendrit serta selubung mielin belum sempurna terbentuk. Imaturitas fisiologik dan anatomik ini menyebabkan lepas muatan listrik yang lambat dan tidak merata, serta cenderung tetap fokal di satu hemisfer; suatu lepas muatan yang
bilateral dan sinkron jarang terjadi. Pada otak yang belum matur tersebut aktivitas listrik berjalan antara substansia grisea yang terletak superfisial dengan substansia alba yang terletak lebih dalam, berlainan dengan otak yang telah matur yang aktivitasnya terutama berjalan antar korteks.Tanpa melihat penyebab, kejang itu sendiri merusak otak.Fujikawa4.pada percobaan binatang mengamati adanya penurunan kadar glukosa otak, sedangkan Westerlain(5)mengamati adanya penurunan DNA, RNA, sintesa protein dan kolesterol, terutama pada binatang imatur. Jaringan otak mem-
punyai kemampuan mitotik yang terbatas sehingga gangguan tersebut akan sangat berpengaruh karena menghambat multiplikasi sel otak yang tidak akan dapat dikejar di kemudian hari.Selain itu Perlman dan Volpe(6)dalam penelitiannya atas 12 bayi selama kejang mencatat adanya kenaikan tekanan darah,balk sistolik maupun diastolik, yang diikuti dengan perubahan nyata aliran darah a. serebri anterior, dan juga peninggian tekanan intrakranial. Ditambah dengan belum sempurnanya mekanisme autoregulasi otak, perubahan tersebut akan meningkatkan volume darah otak dan tekanan vena sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.
DIAGNOSIS
Diagnosis dan pengobatan kejang neonatal sangat penting
terutama karena memperburuk prognosis pada kasus asfiksi
dan memperberat kemungkinan timbulnya cerebral palsy di
kemudian hari.
Kejang neonatal dapat berbentuk
(7, 8)
1) Kejang tonik berupa ekstensi ke empat ekstremitas serupa
dengan deserebrasi, kadang-kadang berupa fleksi ekstremitas atas
dan ekstensi ekstremitas bawah.
Kejang ini biasanya menandakan kerusakan susunan saraf
pusat yang luas seperti pada ensefalopati anoksik, perdarahan intra-
ventrikuler, ventrikulitis atau porensefali.
Khas ditemukan pada bayi kurang-bulan. Penelitian Volpe me--
nunjukkan bahwa 70% bayi yang mengalami kejang tonik, berat
badannya kurang dari 2500 gram
(7)
.
2) Kejang samar -- berupa gerakan-gerakan terisolasi seperti
gerak mata abnormal, menghisap, mengunyah atau gerakan
seperti berenang.
3) Kejang klonik multifokal -- merupakan jenis yang tersering
dijumpai
(9)
berupa gerakan-gerakan klonik yang berpindah dari
satu ekstremitas ke ekstremitas lain secara tak teratur; kadang--
kadang saling bersambungan sehingga menyerupai kejang
umum. Hanya ditemukan pada bayi cukup bulan
(8)
.
4) Kejang klonik fokal -- berupa gerakan-gerakan berulang pada
anggota badan tertentu. Kejang ini tidak selalu menggambarkan
lesi otak karena dapat terjadi pada kelainan metabolik umum
seperti hipokalsemi, hipoglikemi dan asfiksi ringan
9
.
4) Kejang mioklonik benspa gerakan fleksi tunggal/multipel
pada ekstremitas, menyerupai refleks Moro. Merupakan pertanda
kerusakan susunan saraf pusat yang luas.
Tidak semua gerakan berulang pada neonatus merupakan
serangan kejang karena dapat disebabkan juga oleh putus obat,
Cermin Dunia Kedokteran No. 54, 1989 35
background image
gangguan inhibisi serebral atau aktivitas dalam tidur. Klonus
dan jitters berbeda dari kejang karena dapat hilang bila posisinya
diubah atau ditahan, dan tidak disertai dengan gerakan abnormal
bola mata.
Apnea rekuren juga bisa merupakan serangan kejang, tetapi
dapat juga berasal . dari kelainan paru, kardiovaskuler atau
gastrointestinal.
Gambaran EEG
Penggunaan EEG dapat membantu deteksi kejang, meski-
pun lepas muatan subkortikal sering tidak terdeteksi.
Gambaran EEG neonatus berbeda menurut usia gestasi.
Pada prematur < 32 minggu terdapat gelombang diskontinu
dengan gelombang tajam bervoltase 100 mV, aktivitas teta ritmik
dan cetusan gelombang tajam di saat tidur. Pada usia gestasi
36 minggu, EEGnya telah kontinu di saAt jaga dan tidur fase
REM, tetapi masih diskontinu di saat tidur fase nonREM.
Aktivitas saat kejang dapat berupa gelombang tajam yang
tak jelas fokusnya, aktivitas delta (1--4 Hz) ritmik, gelombang
paku positif dan negatif dengan frekuensi 2--6 Hz., kompleks
gelombang paku lambat, dan gelombang serupa alfa dengan
frekuensi 6--10 Hz dan amplitudo 25--30 uV. Cetusan-cetusan
tersebut cenderung tetap di satu hemisfer, jarang bilateral.
Beberapa jenis kejang tertentu dikaitkan dengan jenis EEG
tertentu pula; kejang tonik sering diikuti dengan aktivitas delta
ritmik, sedangkan gelombang paku fokal berulang lebih ber-
kaitan dengan kejang klonik. Gangguan respirasi periodik sering
disertai dengan aktivitas ritmik serupa alfa.
EEG juga penting untuk menilai prognosis, terutama rekam-
an yang dilakukan dini pada usia beberapa hari, karena gambar--
an EEG dapat berangsur normal meskipun telah ada gejala
sisa
(10)
TABEL I. PENYEBAB KEJANG NEONATAL
(3)
1) Trauma.
a) Hematoma subdural
b) Perdarahan korteks
c) Trombosis vena
2) Asfiksi -- perdarahan subependimal
3) Kongental -- disgenesis serebral
4) Hipertensi
5) Metabolik
a) Hipokalsemi
Hipomagnesemi
Diet tinggi fosfat
Diabetes melitus
Hipoparatiroidi
Hiperparatiroidi maternal
Idiopatik
b) Hipoglikemi
Galaktosemi
Gangguan perkembangan intrauterin
Diabetes melitus
Glycogen storage disease
Idiopatik
c) Gangguan elektrolit
Hipernatremi
Hiponatremi
6) Infeksi
a) Meningitis
b) Abses serebri
c) Ensefalitis herpetik
d)
Meningoensefalitis Coxsackie
e) Sitomegalovirus
f) Toksoplasmosis
g) Sifilis
7) Putus obat
a) Metadon
b) Heroin
c) Barbiturat
d) Propoksifen
8) Dependensi piridoksin
9) Gangguan metabolisme asam amino
a)
Maple syrup urine disease
b) Gangguan sildus urea
c) Hiperglisinemi (nonketotik/ketotik)
10) Toksin
a) Anestetika lokal
b) Isonazid
c) Bilirubin
11) Familial
a) Sindrom neurokutan
Tuberous sclerosis
Incontinentia pigmenti
b) Sindrom genetik
Zellweger
Smith--Lemli--Opitz
Adrenoleukodistrofi neonatal
c) Epilepsi familial
ETIOLOGI
Kejang pada bayi baru lahir merupakan kedaruratan yang
harus dicari penyebabnya. Meskipun demikian,10%--30%
kasus tetap tidak dapat diketahui penyebabnya
(8)
,dan di antara yang
diketahui, terutama disebabkan oleh asfiksi, trauma lahir,
hipoglikemi dan hipokalsemi.
Penyebab tersering ialah ensefalopati hipoksik-iskemik
(11)
,
meskipun demikian anamnesis dan pemeriksaan harus tetap
teliti untuk menyingkirkan kemungkinan lain. Pengukuran
tekanan darah dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
ensefalopati hipertensif, sedangkan funduskopi dan punksi
lumbal dilakukan.
Mula timbul kejang dapat memberi petunjuk; kejang
akibat trauma, dependensi piridoksin, asfiksi dan hipoglikemi cen-
derung timbul dalam 48 jam pertama, sedangkan hipokalsemi
timbul antara han 4 -- 7. Kejang akibat infeksi baru timbul
setelah 1 minggu. Perlu diingat bahwa kelainan metabolik dapat
ditemukan bersamaan dengan kelainan struktural.
Beberapa penyebab yang dibahas di sini :
Ensefalopati hipoksik-iskemik.
Merupakan penyebab yang tersering, dapat disertai dengan
perdarahan intrakranial; terdapat pada 8--22% bayi dengan
nilai Agar rendah. Umumnya timbul pada hari pertama, rata-
rata 13 jam setelah terjadinya asfiksi
(12)
. Brown dan kawan-
kawan
(13)
yang menyelidiki 14.020 kelahiran hidup, 760 bayi
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 54, 1989
background image
mempunyai tanda asfiksi perinatal, 83 di antaranya memerlukan
perawatan khusus; dan dari 83 bayi tersebut 50% menderita
kejang.
Di RS Cipto Mangunkusumo, di antara 80 bayi asfiksi yang
diamati, hanya 15% yang menderita kejang
(2)
.
Mula-mula bayi terlihat apatis dengan penurunan semua
refleks seperti refleks Moro, refleks menghisap, memegang di-
sertai penurunan tonus otot. Bayi terbaring lemas dan head lag.
Setelah 12 sampai 24 jam keadaannya berubah menjadi hipertonik
dan dapat bertambah buruk menjadi sopor atau koma. Kejang
yang timbul bersifat samar, tonik atau klonik multifokal, kadang-
kadang didahului apnu.
Keadaan ini dapat diperberat dengan adanya gangguan meta-
bolisme yang menyebabkan hipoglikemi, hipokalsemi, hipo-
magnesemi dan hiponatremi; selain itu juga perlu dibedakan dari
kejang akibat ketergantungan piridoksin atau akibat toksisitas
anestetik lokal yang dapat diobati.
Trauma lahir
Trauma pada susunan saraf pusat dapat terjadi pada kelahiran
dengap kelainan letak atau dengan alat, pada keadaan tersebut dapat
terjadi perdarahan otak dan/atau kontusio jaringan. Perdarahan
intraventrikuler memberikan tanda peninggian tekanan intrakranial
berupa ubun-ubun menonjol, kejang, muntah cere-bral cry dan
perburukan kesadaran. Kejang akibat perdarahan subarakhnoid lebih
lambat timbul.
Kelainan metabolik
Di antara berbagai kelainan metabolik yang dapat me-
nimbulkan kejang, yang tersering dan dapat diatasi ialah hipo--
glikemi dan hipokalsemi.
Hipoglikemi terjadi pada kadar<20mg/dl pada bayi kurang
bulan dan < 30 mg/dl pada bayi cukup bulan; setelah 72 jam
kadarnya harus > 40 mg/dl; terutama harus dicurigai pada
kasus berat-badan-lahir-rendah, asfiksi, maple syrup urine disease,
metilmalonik-asidemi dan propionik-asidemi.
Hipokalsemi terjadi pada kadar < 8 mg/dl pada bayi cukup
bulan dan < 7.5 mg/dl pada bayi kurang bulan. Kelainan ini
dapat dideteksi dengan EKG -- interval QT > 0.21 detik pada
bayi kurang bulan dan > 0.19 detik pada bayi cukup bulan
mengarah ke diagnosis. Selain itu juga perlu diperiksa kadar
magnesium darah, bila< 1 mEq/1, juga perlu dikoreksi dengan
pemberian MgSO4. Keadaan ini terutama terjadi pada bayi berat
badan-lahir-rendah, bayi dengan ibu hiperparatiroid dan bayi
dengan ibu diabetes melitus; dan timbul dalam 72 jam pertama.
Bila timbul antara hari ke empat-ke tujuh, biasanya berkaitan
dengan intake tinggi fosfat, fungsi ginjal dan paratiroid atau.
defisiensi vitamin D ibu.
Kejang biasanya multifokal, berpindah-pindah dan bayi tetap
sadar.
Ketergantungan piridoksin
Biasanya timbul segera setelah lahir, bahkan diduga me-
nyebabkan kejang intrauterin karena tak jarang bayinya lahir
dengan mekonium. Keadaan ini sering dikacaukan dengan asfiksi
perinatal karena gejalanya yang hampir sama, yaitu mekonium,
flaksiditas dan kejang.
Kejang bersifat umum, klonik yang segera berhenti setelah
pemberian piridoksin 100 mg iv.
EEGnya menunjukkan gelombang paku umum, paku ganda
dan cetusan gelombang lambat.
Maple syrup urine disease
Disebabkan oleh defisiensi enzim dekarboksilase sehingga
terjadi penimbunan metabolit leusin, isoleusin dan valin. Meta--
bolit ini dikeluarkan melalui urin dan menimbulkan bau khas.
Biasanya bayi tampak normal ketika dilahirkan, gejala yang
berupa muntah, kejang dan hipertoni muncul setelah adanya
intake protein. Pemeriksaan penyaring menggunakan urin yang
dididihkan, kemudian dicampur sama banyak dengan larutan
2,4 dinitrofenol hidrazin, bila positif, akan timbul endapan kuning
halus.
Pengobatan berupa dialisis peritoneal dan transfusi tukar,
disertai dengan glukosa iv untuk meiriperbaiki hipoglikemi,
setelah itu diberi diet tinggi kalori (150 kal./kg.bb/hari). Vitamin
B1 10 mg/hari dapat dicoba karena ada beberapa kasus yang
responsif.
PENGOBATAN ANTIKONVULSAN
Meskipun tidak ada penelitian yang mengunggulkan feno--
barbital dari antikonvulsan lain, obat tersebut merupakan pilihan
pertama pada hampir semua klinik neonatus dengan dosis awal
minimal 20 mg/kg/bb.
(3)
. Sedangkan Hendarto menganjurkan
dosis 8--10 mg/kgbb/hari dibagi dalam dua dosis
(8)
, dilanjutkan
dengan 4 mg/kgbb/hari setelah hari ketiga. Dosis pemeliharaan
2--4 mg/kg.bb. cukup untuk mempertahankan kadar terapeutik-
nya selama dua minggu; setelah itu dapat dinaikkan sampai
5 mg/kg.bb./hari untuk mengimbangi kenaikan metabolisme-
nya. Bila gagal dapat diganti dengan fenitoin dengan dosis
awal 20 mg/kg.bb., dilanjutkan dengan 15--20 mg/kg.bb/hari
bila diberikan oral, atau 4--6 mg/kg.bb/hari bila intravena.
Dengan cara di atas, 70% kejang neonatal dapat dikontrol.
Primidon mungkin berguna pada kejang refrakter. Powell
dan kawan-kawan
(14)
memberikannya pada 24 bayi yang refrakter
terhadap fenobarbital maupun fenitoin; di antara 20 kasus
yang berhasil, 13 kasus berhenti kejang dalam 48 jam. Dosis
awalnya 15--20 mg/kg.bb dengan pemeliharaan 12--20 mg/kg.bb/
hari. .
Gamstrop dan Sedin menggunakan diazepam iv. drip atas
8 neonatus dengan dosis 0.3 mg/kg.bb/jam dengan hasil baik;
kejang diatasi dan meskipun bayi menjadi somnolen, tidak
diperlukan bantuan respirasi.
Deshmukh dan kawan-kawan
<15>
menggunakan lorazepam
dengan dosis 0.05 mg/kg.bb iv. pada 7 kasus kejang neonatal
yang refrakter; kejang berhenti dalam 5 menit, tetapi timbul
kembali pada dua kasus setelah 8 jam.
PROGNOSIS
National Collaborative Perinatal Project melaporkan bahwa
70% penderita kejang neonatal tidak mempunyai kelainan di
kemudian hari, tetapi laporan itu tidak menjelaskan penyebab
kejangnya
(3)
. Sebenarnya prognosis tergantung dari penyebab-nya.
Hipokalsemi akan sembuh sempurna, hipoglikemi mempunyai
risiko 50% cacad atau kematian, sedangkan infeksi risikonya 70%.
Penyebab tersering -- ensefalopati hipoksik-iskemik- mempunyai
risiko 60%, dan bila etiologinya tidak diketahui sama sekali,
risikonya 37%.
Prematuritas memperburuk prognosis; 20--25% bayi dengan
masa gestasi < 31 minggu akan menderita kejang dan 90%
di antaranya akan meninggal dunia. Meskipun demikian, bila
Cermin Dunia Kedokteran No. 54, 1989 37
background image
dapat diatasi, perkembangannya tidak akan berbeda dengan bayi
cukup bulan yang kejang. 17% di antara yang hidup akan
kembali kejang pada usia yang lebih lanjut, terutama pada mereka
yang mempunyai kelainan neurologik. Kejangnya bisa berupa
spasme infantil, kejang umum, fokal atau mioklonik; dan umum-
nya akan timbul dalam 9 bulan pertama.
Prognosis juga dipengaruhi oleh jenis kejangnya
(9)
. Kejang
tonik atau klonik multifokal prognosisnya lebih buruk daripada
kejang klonik fokal
(9)
. Selain itu gambaran EEG di antara
serangan juga membantu prognosis. EEG yang normal atau
gelombang paku unifokal mempunyai prognosis baik, sedangkan
gelombang paku multifokal atau gambaran periodik letupan
dan inaktivitas dan gelombang tajam atau paku yang tidak sinkron
mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Dari 27 kasus yang diperiksa di RSCM setelah 12 bulan,
11 tidak menunjukkan kelainan, sedang 16 kasus lainnya men-
derita berbagai defisit neurologik (tabel).
Keadaan
neurologik
Jumlah
Normal
11
Kelainan
16
Keterlambatan perkembingan
7
Epilepsi
5
Cerebral
palsy
2
Transiluminasi (+)
2
Klonus kaki
1
* Satu penderita dapat men derita lebih dari satu kelainan.
Pedoman yang terbaik sebenarnya ialah gambrai klinis
disaat pulang; bayi yang sama sekali tidak mempunyai kelainan,
akan seterusnya demikian.
KESIMPULAN
1) Kejang neonatus yang dibedakan dari gerakan abnormal lain,
merupakan problem yang penting, terutama di unit rawat intensif.
2) Pemeriksaan EEG dapat membantu diagnosis.
3) Akibat pengaruhnya terhadap metabolisme otak, kejang
merusak dan menghambat pertumbuhan otak.
4) Pendekatan pada kejang neonatus hendaknya sistematik dan
mencari penyebab.
5) Atas dasar tradisi, fenobarbital merupakan pilihan pertama.
6) Pedoman prognosis yang terbaik ialah keadaan klinis sewaktu
pulang.
KEPUSTAKAAN
1. Painter MJ, Bergman I, Crumrine PK. Neonatal seizures. Dalam : Neuro-
logic emergencies in infancy and childhood. JM Pellock & EC Myer
(eds.) Harper & Row Philadelphia. 1984. hal. 17--35.
2. Hendarto SK, Ismael S, Lumbantobing SM, Lazuardi S. Some aspects
of neonatal convulsions. Paed Indon 1974; 14 : 11.
3. Painter MJ, Bergman I, Crumrine P. Neonatal seizures. Ped Qin N Am
1986; 33 : 91--109.
4. Fujikawa D, Vannucci R, Dwyer D et al. Cerebral energy metabolism
during generalized seizures in young primates. Neurology 1985; 35 : 196.
5. Westerlain CG, Plum F. Vulnerability of developing rat brain to electro-
convulsive seizures. Arch Neurol 1973; 29 : 38.
6. Perlman JM, Volpe J. Seizures in preterm infant: effects of cerebral blood
flow velocity, intracranial pressure and arterial blood pressure. J Pediatr
1983; 102 : 288.
7. Volpe J. Management of neonatal seizures. Crit Care Med 1977; 5 : 43.
8. Hendarto SK. Kejang pads bayi bare lahir. Dalam : KPPIK--XI. Kejang
pads anak. Eds. Ismael S, Lumbantobing SM. FKUI, 1983.
9. Lombrosso CT. Seizures in the newborn period. Dalam : Handbook of
clinical neurology Eds. PJ Vinken dan GW Bruyn. vol. 15. North--
Holland Pubi. Co. 1974. p. 189.
10. Rose AL, Lombrosso C. Neonatal seizure states : A study of clinical,
pathological and electroencephalographic findings features in 137 fullterm
babies with long-term follow-up. Pediatrics 1970; 45 : 404.
11. Bergman I, Painter MJ, Hirsch RP et al. Outcome in neonates with convul-
sion treated in an intensive care unit. Ann. neurol. 1983; 14 -- 642.
12. Mulligan JC, Painter MJ, O'Donoghue P et al. Neonatal asphyxia II:
Neonatal mortality and long-term sequelae. J Pediatr 1980; 96 : 903--7.
13. Brown JK, Purvis RI, Forfar JO et al. Neurological aspects of perinatal
asphyxia. Dev Med Child Neurol 1974; 16 : 567.
14. Powell C, Painter MJ, Pippinger G Primidone therapy in refractory neonatal
seizures. J Pediatr 1984; 105 : 651.
15 Deshmukh A, Wittert W, Schnitzler E, Mangurten HH. Lontzepam in
the treatment of refractory neonatal seizures. Am J Dis Child 1986; 140 :
1042-4
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment